Minggu, 17 Januari 2010

OPTIMISME TERHADAP POPULASI SEJUTA EKOR SAPI DI SUL-SEL

Melalui berbagai media massa, kita sudah mengetahui adanya target produksi tiga komoditi yakni; beras 2 juta ton, jagung 1,5 juta ton dan populasi ternak sapi 1 juta ekor. Kita semua seyogyanya mendukung dengan optimisme yang tinggi target pencapaian produksi komoditas tersebut diatas. Untuk bisa kita menumbuh-kembangkan optimisme terhadap pencapaian target populasi sapi tersebut, perlu kita mempunyai masukan-masukan berbagai faktor pendukung yang memungkinkan pencapaian target tersebut.
Populasi sapi sejuta ekor di Sul-Sel sudah pernah dicapai sekitar 20 tahun lalu (thn 1989 populasi sapi 1,2 juta ekor). Populasi ini menurun secara drastis awal tahun 1990an kemudian bertahan sekitar 500.000 – 700.000 ekor hingga sekarang. Jadi target pemerintah daerah sekarang ini adalah mengembalikan populasi sapi yang terpuruk selama 20 tahun ini dan target ini akan diusahakan dicapai hanya dalam jangka waktu 4-5 tahun. Untuk kita bisa optimis terhadap target tersebut, mungkin ada baiknya kita mencari masukan terkait dengan kondisi ternak sapi saat ini dan penyebab utama kenapa populasi sapi menurun.
Populasi sapi di Sul-Sel thn 1989 masih sekitar 1,2 juta ekor. Namun, tahun 1998 tinggal 743.000 ekor, thn 2003, 737.000 ekor dan thn 2006, 612.000 ekor. Dari populasi ini 40-50 % adalah induk. Jumlah sapi yang dipotong berkisar 60.000 – 70.000 ekor/tahun atau hanya sekitar 10 % dari populasi. Jika seekot sapi mampu menghasilkan 100 kg daging, maka produksi daging hanya 6.000 – 7.000 ton daging/thn. Produksi ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat akan daging sapi. Tingkat konsumsi daging sapi secara nasional hanya 2 kg/kapita/thn (bandingkan dengan Malaysia dan Thailand sekitar 5,5 kg, Jepang = 10,3 kg, Amerika = 43,8 kg/kapita/thn). Untuk memenuhi kebutuhan 2 kg/kapita bagi masyarakat Sul-Sel yang jumlahnya sekitar 8 juta orang kita butuh daging sekitar 16.000 ton/thn. Ini membuktikan bahwa kita bukan lagi sebagai pemasuk ternak sapi untuk daerah lain seperti yang halnya yang terjadi tahun 1960 dan 1970an, melainkan kita sudah tergolong importir daging sapi.
Populasi ternak bisa bertambah jika ada kelahiran dan pemasukan ternak. Sebaliknya, menurun jika terjadi kematian, pemotongan dan pengeluaran ternak. Faktor utama yang diperkirakan sebagai penyebab utama menurunnya populasi di daerah ini adalah tingkat kelahiran yang rendah. Hal ini bisa dilihat pada berbagai indikasi. Indikasi 1. Tingkat pemotongan yang hanya sekitar 10 % dari populasi. Karena aturan yang dipotong hanya anak jantan dan betina tidak produktif, maka angka kelahiran hanya 20-30 %. Indikasi 2. Laporan dari berbagai hasil survey dan penelitian. Jarak kelahiran sapi di Sulsel 2-3 tahun, maka angka kelahiran 30-50 %(Sonjaya dkk, 1995). Sekitar 500 ekor sapi yang di IB antara tahun 1995-1999, angka konsepsi kurang dari 30 % (Toleng dkk, 2001). IB sapi dara dan induk menunjukkan angka kebuntingan 10-20% (Firmiaty dkk 2007 dan 2008). Dari laporan-laporan ini terungkap bahwa rendahnya angka kelahiran berkaitan dengan berbagai factor antara lain; berahi tanpa ovulasi, kondisi tubuh rendah dan kesalahan manajemen (kegagalan mendeteksi berahi dan kegagalan mengawinkan sapi yang berahi). Mengatasi kendala-kendala ini dapat meningkatkan angka kebuntngan menjadi 70-80%.
Untuk mencapai target 1 juta ekor, bahkan lebih, tahun 2013 bukanlah suatu hal yang sulit. Salah satu skenarionya adalah sbb; populasi sapi sekitar 700.000 ekor tahun 2008, jumlah induk fertil/subur sekitar 50 % dari populasi, angka kelahiran sekitar 50 %, pemotongan dilakukan hanya pada ternak jantan atau induk yang tidak fertil dan jumlahnya stabil seperti tahun-tahun sebelumnya (70.000 – 80.000 ekor/tahun), angka kematian maksimal sekitar 5 %, tidak boleh ada pengeluaran ternak, import daging sekitar 8.000 ton/tahun, konsumsi masyarakat akan daging sapi dibatasi maksimal 2 kg/kapita/tahun, maka pada tahun 2013 populasi bisa mencapai lebih dari 1 juta ekor. Jadi optimisme kita terhadap pencapaian sejuta ekor sapi di Sul-Sel sangat tergantung pada optimisme kita terhadap pencapaian koefisien-koefisien teknis tersebut diatas. Sebagai contoh, apakah kita optimis angka kelahiran bisa dicapai sekitar 50 %. Untuk mencapai target angka kelahiran ini perlu daya dukung lahan dan pakan cukup, ternak yang fertil dan sehat, pejantan yang unggul atau inseminator yang professional, petani yang mempunyai motivasi tinggi, dan berbagai faktor pendukung lainnya.
Bilamana kita sudah optimis bahwa target sejuta ekor sapi itu bisa terpenuhi, pertanyaan selanjutnya apakah sejuta ini sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan kita?. Dengan populasi sejuta ekor sapi kelihatannya kita belum bisa bernapas lega karena ternyata belum mampu memenuhi kebutuhan daging sapi kita yang hanya 2 kg/kapita/tahun kalau koefisien teknis sama dengan yang tersebut diatas (kelahiran hanya sekitar 50 %). Kita masih harus mengimpor sekitar 2.000 ton/tahun. Namun jika kita bisa meningkatkan angka kelahiran menjadi >60 % barulah kita bisa mencukupi kebutuhan kita dengan standar 2 kg tadi.
Kegagalan kita menyediakan bahan makanan yang berkualitas tinggi, seperti daging, maka kemungkinan besar kita akan menciptakan generasi yang kurang berkualitas dimasa yang akan datang.

Penulis,
Abd. Latief Toleng
Dosen Fak. Peternakan, Unhas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar